THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 13 Oktober 2010

PATIH SUWANDA DALAM SERAT TRIPAMA

I. LATAR BELAKANG
Wayang sebagai warisan khususnya bagi masyarakat Jawa memiliki falsafah hidup yang kompleks dan bernilai adi luhung. Sehingga bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan hidup.
Salah satu cerita wayang pada lakon Bambang Sumantri yang tertulis pada Serat Tripama karangan Mangkunegara IV, yang bersedia mati untuk membela negaranya (Negara Maespati). Hal tersebut merupakan salah satu sisi kepahlawanan dari seorang tokoh wayang Bambang Sumantri.
Untuk itu pantas rasanya jikalau Riwayat Hidup Bambang Sumantri kita teladani ceritanya serta kita bisa mengambil ajaran hidup yang dimiliki Bambang Sumantri, seperti yang tertuang pada Serat Tripama berikut:
Yogyanira kang para prajurit
Lamun bisa sira anulada
Duk inguni caritane
Andlira Sang Prabu
Sasrabahu ing Maespati
Aran Patih Suwanda
Lelabuhanipun
Kang ginelung tri prakara
Guna kaya purun ingkang den antepi
Nuhoni trah utama


II. RIWAYAT HIDUP BAMBANG SUMANTRI

BAMBANG SUMANTRI adalah putra Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar dengan permaisuri Dewi Darini, seorang hapsari/ bidadari keturunan Bathara Sambujana, putra Sanghyang Sambo. Ia mempunyai seorang adik bernama Bambang Sukasarana/ Sukrasana, berwujud raksasa kerdil/ bajang.
Sumantri sangat sakti dan memiliki senjata pusaka berupa Panah Cakra. Selain ahli dalam ilmu ke tata pemerintahan dan tata kenegaraan. Sumantri juga mahir dalam olah keprajuritan dan menguasai berbagai tata gelar perang. Setelah dewasa, ia mengabdi pada Prabu Arjunasasra/ Arjunawijaya di Negara Maespati. Sebagai batu ujian, ia ditugaskan melamar dewi citrawati, putrid Negara Magada yang waktu itu menjadi rebutan/ lamaran raja-raja dari seribu Negara.
Sumantri berhasil memboyong Dewi Citrawati. Tetapi sebelum menyerahkan kepada Prabu Arjunasasra, ia lebih dahulu ingin menguji kemampuan dan kesaktian Prabu arjunasasrasesuai dengan cita-citanya ingin mengabdi pada raja yang dapat mengungguli kesaktiannya. Dalam peang tanding Sumantri dapat dikalahkan Prabu Arjunasasra yan bertiwikrama. Ia kemudian disuruh memindahkan Taman Sriwedari dari Kahyangan Untarasegara ke negara Maespati bila ingin pengabdiannya diterima. Dengan bantuan adiknya, Sukasrana, Taman Sriwedari dapat dipindahkan, tetapi secara tidak sengaja Sukasrana mati terbunuh olehnya dengan senjata Cakra. Oleh Prabu Arjunasasra, Sumantri diangkat menjadi patih negara Maespati bergelar Patih Suwanda.
Akhir riwayat Sumantri/ Patih Suwanda diceritakan bahwa ia gugur dalam pertempuran melawan Prabu dasamuka, raja negara Alengka yang dalam taringnya menjelma arwah Sukasrana.


III. LAKON AMBANG SUMANTRI
A. SUMANTRI NGENGER
Lakon ini meceritakan tentang berita yang didengar Prabu Arjunasasra bahwa di Kerajaan Magada ada putrid cantik yang bernama Dewi Citrawati, putrid Prabu Citradarma. Banyak raja yang melamar tetapi putrid cantik itu belum memberikan jawaban.
Prabu Arjunasasra lalu mengutus Bambang Sumantri yang baru mengadi untuk melamar sang Putri baginya. Untuk tugas itu Bambang sumantri diberi kedudukan sebagai patih, dengan gelar Patih Suwanda. Dewi Citrawati dapat menerima lamaran itu asal saja Sumantri dapat membunuh Prabu Darmawasesa dan raksasa Jonggirupaksa dari Jonggarba yang juga menjadi pelamar.
Sumantri apat membunuh kedua raja berkat bantuan rama Bargawa. Sebelum Dewi Citrawati diserahkan kepada arjunasasra, Sumanti menantang rajanya, Prabu Arjuna Sasrabahu. Terjadilah perang tanding, Sumantri kalah.
Sebagai hukuman Sumantri dipecat dari kedudukannya sebagai patih, dan baru boleh mengabdi lagi jika dapat memindahkan taman Sriwedari dari Maganda ke Maespai berkat bantuan Sukasrana, adik sumantri, Taman Sriwedari dapat dipindahkan ke Kerajaan Maespati, tetapi Sukasrana tetap tinggal di taman. Sumanti tidak senang adiknya tinggal di taman akhirnya terbunuh oleh Sumantri dengan tidak sengaja.

B. SUMANTRI GUGUR
Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yan menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya. Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya agak mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada, atau bahkan Dewa sekalipun. Dewi itrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya disebuah sungai aau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu. Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing pergi ke sebuah dataran rendah, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai. “Dinda Patih Suwada, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda.” kata Sang Prabu.
Sasrabahu kemudian bertiwikrama, yaitu mengubah tubuhnya menjadi raksasa yang amat besar, tidur melintang membendung aliran sebuah sungai. Denan tubuh sebesar bukit dengan pajang hamper mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah itu dalam waktu singkat berubah menjadisebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun ke dalam air, diikuti oleh para salir dan para dayang. Mereka berenang kasana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh gembira dan gelak tawa. Pemandangan yang terjadi sungguh unik,dimana seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaa polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah menggemaskan
Luapan air sungai yang trbendung semakin lama semakin meninggi, meluas elebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda pesawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur bertiwikrama. Sementera itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Arjunasasrabah terdapat daerah kering, dan disana dibangun sebuah pesanggrahan darurat untuk tempat istirahat atau berganti pakaian Dewi Citrawati an para selir berikut dayang-dayangnya.
Tak terduga luapa air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Dasamuka, raja Alengka beserta para hulubalang sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Dasamuka ludes dilanda air bah. Dasamuka dan para hulubalangnya yang bisa terbang, segera terbang menyelamatkandiri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah. Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Dasamuka. Ia segera menyuruh Detya Kaka Marica, abdi kepecayaannya untuk mencari penyebab bencana itu. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Dasamuka, melaporkan bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yan bertiwikrama menjadi raksasa dan tidur melinttan di muara sungai.
Dasamukapun mencari tahu siapa gerangan Arjuna Sasrabahu itu. Dari pamannya, ia mendengar perihal kesaktian Raja Maespati itu. Ia juga menjadi tahu bahwa permaisuri dan para selir Sasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dari kesemua putri itu, yang kecantikannya paling menawan adalah sang permaisuri, Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bathari Sriwidawati.
“Hemmm, kebetulan! Aku akan rebut Dewi Citrawati dari anggan Arjunasasrabahu!” kata dasamuka lantang. Ia kemudian memerintahkan para punggawanya untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati.dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Dasamuka akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingitkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu arjunasasrabahu dan Patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Dasamuka sendiri. Namun Dasamuka tetap kukuh dengan kemauannya. “Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Dasamuka. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!” kata Dasamuka lantang.
Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan. Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka meti dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Dasamuka akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati. Dasamuka merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tangannya memegang berbagai jenis senjata. Sepak terjang Dasamuka sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maspati menemui ajalnya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Dasamuka, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukanlah tandingan Dasamuka. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Dasamuka.
Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda/ Sumantri maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Dengan tata gelar peang “Garuda Nglayang” pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusa, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Dasamuka antara lain kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patia Suwanda, akhirnya mati juga di medan perang.
Ketika akhirnya Dasamuka bertarung langsung dengan Sumantri, berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Dasamuka. Namun Dasamuka selalu dapat hidup kembali dari kematian, dalam sekejap, kepala yang tertebas dai tubuhnya langsung menyatu kembali. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati), raja negara Lokapala terdahulu yang masih kakak Dasamuka satu ayah, putra Resi Wisrawa.
Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Dasamuka. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. Ia melihat inilah saat yang tepa untuk berbuat sesuatu pada kakaknya, dan memenuhi janjinya untuk bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Dasamuka. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Dasamuka. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Dasamuka agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Dasamuka lepas dari lehernya terbabat senjata Cakra, patih Suwanda segera memungut kepala Dasamuka. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Dasamuka, tanpa disadari tubuh Dasamuka menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek. Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Dasamuka langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernyya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menemui ajalnya.


IV. KONSEP BELA NEGARA PATIH SUWANDA DALAM SERAT TRIPAMA
Sri Mangkunegara IV di Surakarta meninggalkan sebuah warisan utama bagi bangsa ini berupa Serat Tripama. Serat ini menceritakan tentang tiga tauladan utama keprajuritan dan warga negara yang total mengabdikan hidup dan perjuangannya di garisnya masing-masing.
Tokoh yang sangat menarik untuk diambil suri taulaannya adalah Patih Suwanda. Patih Suwanda ketika masih kecil bernama Bambang Sumantri, putra Begawan Suwandagni. Sesudah dewasa ia mengabdikan diri kepada Prabu Sasrabahu, raja Maespati sebagai abdi negara ia telah menunjukkan loyalitasnya dengan mengorbankan jiwa dan raganya.
Pujian Mangkunegara IV terhadap Patih Suwanda sebagai berikut :
Yogyanira kang para prajurit
Lamun bisa sira anulada
Duk inguni caritane
Andlira Sang Prabu
Sasrabahu ing Maespati
Aran Patih Suwanda
Lelabuhanipun
Kang ginelung tri prakara
Guna kaya purun ingkang den antepi
Nuhoni trah utama

Lire lelabuhan tri prakawis
Guna; bisa saneskareng karya
Budi dadya nanggule
Kaya sayektinipun
Duk bantu prang Magada Nagri
Amboyong putri ddhomas
Katur ratunipun
Diutus oleh rajanya, ia kembali memperoleh harta ampasan perang yang berlimpah-limpah. Banyaknya hasil rampasan itu tidak disimpan sendiri, tetapi diserahkan kepada negara.
Purun berarti pemberani, bersemangat dan dinamis sebagai pemuka negara. Suwanda selalu tampil denagn semangat menyala-nyala tanpa disertai pamrih. Bahkan bila perlu jiwa raganyapun dikorbanka. Hal ini terbukti ketika ia berperang melawan Dasamuka, raja Alengka dan ia gugur di medan laga.









DAFTAR PUSTAKA

Purwadi.2006.Kitab Jawa Kuna.Yogyakarta:Pinus
www,googlesearch.com. diakses pada tanggal 30 September 2010 @19.40 WIB

ANALISIS CERITA PROSA RAKYAT JAWA TENGAH

A. ANALISIS CERITA RAKYAT

Dongeng Wedhus Alas
Ing sawijining dina, ana wedhus alasn kang mlakuu ijen ing dalan pegunungan. Lakune alon lan lenthak-lenthik amarga lagi sedih atine , jalaran wedhus alas an sing wadon mati keglundhung jurang. 1) Situasi awal.
Saurute dalan kang diliwati, sanajan thukul suket-suket kang ijo tur lemu, nanging wedhus alasan mau tetep bae ora karep mangan suket. Amarga atine isih susah lan sedhih banget. 2) Penjelasan situasi awal.
Sakwetara wektu, lakune tekan dalan kang ciyut. Sak kiwane dalan jurang kang jero lan sak tengene dalan mung katon gumuk watu. Dalan kang cilik mau uga ora bias kanggo liwat simpangan. Dhumadakan ana wwdhus alas an kang liya , mlaku rikat tumuju wedhus alasan sing mau. 3) Pengembangan situasi awal ke masalah.
Bareng uis adhep-adhepan, wedhus alas an kang kapisan ngambruk karo celathu, “Sanak, aku ora nedya arep padudon apa maneh cecongkarahan karo kowe. Yen kowe arep mlaku mrana, liwata! Idaken awakku iki, aku ya ora apa-apa.” 4) Tokoh pertama mengalah.
Wedhus kang kapindho banjur liwat, kanthi ngati-ati ngidhak gegere wedhus kang kapisan. Sawise matur nuwun marang wedhus kapisan, banjur pada andum slamet nerusake lakune dhewe-dhewe. 5) Kedua tokoh selamat melewati bahaya.
Ing wektu liya, uga ing dalan ciyut kuwi ana wedhus alas an loro maneh kang liwat. Sing siji mlaku ngalor lan sing siji mlaku ngidul. 6) Timbulnya konflik baru (antara tokoh kedua dan ketiga).
Loro-lorone uga ora gelem ngalah lan ngendel-endelake kekuwatane sungune kang padha-padha pengkuh lan lancip. Mula loro-lorone banjur kecemplung jurang lan mati sia-sia amarga padha-padha ngeyel. 7) Penyelesaian atau akhir cerita (kedua tokoh mati).
Mula Bukane Asu Memungsuhan Karo Kucing
Jaman biyen, Kanjeng Nabi Nuh diparingi dhawuh supaya gawe prau kang gedhe. Mula bareng kedadean banjir gedhe, Kanjeng Nabi nuh sakaluwarga pada nitih prau. Ing ngendi-endi keleleb banyu, kabeh pada mati. 1) Situasi awal.
Nanging ing prau gedhe mau, uga ana kewan-kewan sing dikatutake sarwa sajodho, supaya kewan-kewan ora entek. Sarehne pangan ya mung sathithik, mula olehe mangan tansah ditata lan di irit-irit. 2) Penjelasan situasi awal.
Si Asu pancen kewan sing srakah. Tansah krasa kurang lan kerep banget nyolong panganan. 3) Pengembangan situasi awal menjadi permulaan konflik.
Si Kucing banjur ngerti, uga matur ing ngarsane Kanjeng Nabi nuh. 4) Pengaduan kucing akibat perbuatan anjing.
Si Asu di paringi paukuman. Si Asu nesu marang si Kucing. Mula nganti seprene Asu isih sok memungsuhan karo kucing. 5) Penyelesaian atau akhir cerita (permusuhan kucing dan anjing yang berlanjut sampai sekarang).









Jaka Bodho
Sawijining dina ana Jaka Bodho luru kayu menyang alas. Anggone tumandhang gawe sinambi rengeng-rengeng kanggo nuwuhake rasa seneng lan bias cekat-ceket. Sakwise entuk kayu sakbentel, dheweke mlaku menyang kali kang ana ing satengahing alas. 1) Situasi awal.
Dumadakan Jaka Bodho meruhi ana wanita ayu kang sumendhe ana sangisore wit gedhe. “Mbak-mbak ….kog sare wonten mriki, ta?”, Si Jaka Bodho nakoni, nanging wanita mau ora mangsuli. 2) Pengembangan situasi awal ke masalah.
“Wah, iki mesthi wanita wuta lan budheg,” panguwuhe si Jakajroning batin. Wanita mau banjur digawa bali. Tekan ngomah, wanita mau diturokake ing senthong. Nalika ibune mulih saka sawah, si Jaka matur ibune. 3) Jaka Bodho bingung
”Bu, aku mau ketemu wong ayu ing tengah alas,” ature.
”Lha terus kepriye, Ka?,”
”Wonge mau dakgawa bali, saiki isih turu ana ing senthong,” wangsulane Jaka. 4) Jaka Bodho mengadu pada ibunya.
Bareng wus surup, ibune Jaka ngambu ganda anyir. Ibune bingung nggoleki sumbering ganda mau. Saya cedhak senthong, gandane saya badheg. 5) Munculnya masalah (muncul sumber bau busuk dirumah mereka).
Bareng mbukak kamar senthong, , ibune age-age nyedhaki wanita kang turu anteng tanpa obah babar pisan. Awake anyep njejeb, jebul wanita ayu kuwi uwis ora duwe nyawa. 6) Ibunya menemukan sumber bau busuk tersebut.
”Jaka ..... Jaka, mrenea ngger!”,
”Napa,bu? Wanita mau wus tangi, Bu?”, ature.
”Apa? Tangi? Mangertia ya ngger, satemene wanita kang kokgawa bali kae wus mati.”
”Ora ...ora, Bu. Wanita iku mung turu.” 7) Perdebatan antara Jaka dan ibunya.
”Oalah ....iki lho.... ganda badheg iki asale saka senthong, ya saka awake wanita ayu iku.”
”Apa yen wong mati iku ngetokake ambu badheg ngene iki, Bu?”,
”Iya”, Ibune Jaka mangsuli. 8) Nasihat ibu Jaka kepadanya.
Si Jaka Bodho age-age mbopong wanita mau, kagawa menyang kali, prelune arep dikeleake. Sadalan-dalan dheweke nguwuh, ” Wong mati ngetokake ganda badheg”. 9) Jaka menghanyutkan mayat wanita ke sungai.
Ing sawijining dina, Jaka lungguh sapengadhep karo ibune, ngonceki tela pohung. Dumadakan ibune Jaka ngentut, ambune badheg banget. Jaka uga ngambu ganda mau.
”Aduh ...., ibu wus mati... ibu wus mati, huuuhuuu........”, tangise Jaka, dikira ibune wus mati, gara-gara entuite mambu badheg. 10) Jaka Bodho salah sangka.
Jaka Bodho nangis karo mbopong ibune menyang kali. Sadalan-dalan ibune ngerih-erih lan oncat supaya bisa uwal. Nanging saya kenceng anggone oncat, saya kenceng anggone si Jaka mbopong lan saya rikat anggone lumaku. 11) Jaka Bodho tidak peduli dengan teriakan ibunya.
Satekane ing pinggir kali, ibune dijorokake ing kali. Wektu iku ilining banyu banter banget. Ibune kagawa dening ilining banyu. Sambat sebute ibune ora digugu babar pisan. Sing dipikir mung panemune manawa ibune wus mati jalaran ngetokake ganda mambu badheg. 12) Akhirnya ibu Jaka Bodho meninggal, hanyut di sungai.

Selasa, 12 Oktober 2010

serat centhini

Serat Centhini atau yang banyak dikenal dengan suluk Tembangraras adalah sebuah mahakarya sastra Jawa yang ditulis oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III atau yang lebih dikenal dengan Sunan Paku Buwana V. Karya ini ditulis pada mulai tahun 1814 – 1823. Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa dalam Serat centhini.
Serat Centhini merupakan sebuah ensiklopedi yang memuat berbagai informasi penting mengenai politik, ekonomi, sastra, budaya, religi yang telah berkembang di Jawa pada era Sebelum Masehi hingga pada ke 18 Masehi. Kehadiran serat centhini pada kancah pustaka dunia itu, secara otomatis mengangkat harkat, martabat dan derajat jatidiri bangsa. Ternyata dientitas suatu bangsa hanya bisa ditampilkan lewat kreativitas dan produktivitas.
Isi serat Centhini
Serat Centhini merupakan ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangarikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini berisi tentang segala hal yang ada di alam pikiran masyarakat Jawa. Seperti persoalan agama,kebatinan, kekebalan,dunia keris, karawitan, tari, arsitektur, pertanian, primbon, makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuno mengenai tanah Jawa, tak tertinggal juga masalah seksualitas. Semua hal diceritakan secara jelas dalam karya yang ditokoh utamai Tambangraras, Amongraga dan Centhini ini.